Anjrahweb.com – Awalan, saya disclaimer dulu. Tulisan saya Tipe Tipe Coach Bisnis & Konsultan Bisnis Yang Harus Diwaspadai Ini, tidak ada maksud sama sekali menegatifkan profesi serta temen temen baik konsultan maupun coach bisnis yang ada.
Tulisan ini, sebenarnya sudah lama pengen nulis, sudah lama juga mendengar, tapi momennya baru kepikiran lagi dan pengen menuliskannya sekarang. Mumpung hari Ahad, sedang longgar juga sehingga ya, buat sharing saja.
Perlu diketahui, saya sendiri juga seorang Coach Bisnis dan Konsultan Bisnis, maka, tulisan ini lebih ke autokritik ke diri saya sendiri sekaligus pelajaran supaya bagaimana dalam menjalani salah satu amanah profesi bisa tetap baik dari waktu ke waktu.
Saya nggak pengen industri ini rusak, diciderai oleh oknum oknum tidak bertanggung jawab. Jadi gentle warning buat para pelaku dan semoga business owner juga bisa menelisik jangan gampang terpukau lalu kerja sama dengan bisnis coach yang ‘meresahkan’.
Apa Sebenarnya Business Coach Itu?
Secara teoretis, definisi profesional, jika kita merujuk pada standar emas dunia seperti International Coaching Federation (ICF).
Business Coach adalah sebuah kemitraan yang memprovokasi pemikiran (thought-provoking) dan proses kreatif untuk memaksimalkan potensi profesional dan pribadi seseorang (kalau di area bisnis, tentu lingkupnya bahasan bisnis).
Perhatikan kata kuncinya: Memprovokasi pemikiran.
Tugas seorang coach sejati bukan menyuapi. Dia tidak akan memberikan ikan, tidak juga sekadar memberikan kail. Dia akan melatih otot tangan Anda, melatih mata Anda membaca arus air, dan memaksa Anda berpikir strategi apa yang paling tepat untuk menangkap ikan di kolam Anda sendiri.
Tujuannya adalah memindahkan klien dari Titik A (kondisi sekarang) ke Titik B (tujuan) dengan lebih cepat dan minim error dibanding jika klien berjalan sendirian.
Secara global, ini adalah profesi elit. Di Amerika Serikat dan Eropa, seorang business coach korporat yang tersertifikasi bisa mengantongi pendapatan rata-rata $60.000 hingga $300.000 per tahun (sekitar Rp900 juta hingga Rp4,5 Miliar).

Angka ini bahkan bisa tembus jutaan dolar untuk coach selevel Tony Robbins atau Marshall Goldsmith.
Wuisss, Kenapa mahal banget bayaran seorang coach bisnis?
Karena yang mereka jual adalah expertise, pola pikir strategis, dan shortcut pengalaman.
Mereka dibayar mahal untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian miliaran dolar atau untuk melipatgandakan valuasi perusahaan.
Ada Return on Investment (ROI) yang jelas di sana.
Beda Coach Bisnis, Konsultan Bisnis, Trainer Bisnis, dan Mentor Bisnis?
Sebelum melangkah jauh, mari kita cermati penjelasan beberapa profesi ini.
Kita ibaratkan dengan dunia bola semoga jadi jauh lebih mudah dipahami.
[1] Business Coach (Pelatih Kepala / Manajer Tim)
Analogi Bola: Ini adalah Shin Tae-yong atau Pep Guardiola.
Posisi: Dia berdiri di garis pinggir lapangan. Dia TIDAK ikut menendang bola. Dia TIDAK masuk ke lapangan.
Tugasnya: Dia berteriak memberikan arahan, mengatur formasi strategi, dan memecut semangat pemain. Kalau pemain lari malas-malasan, dia yang memarahi. Kalau pemain bingung posisi, dia yang menunjuk arah.
Kalimat Khas: “Menurutmu, kenapa tendanganmu melenceng tadi? Apa strategi yang harus kita ubah di babak kedua?” (Dia memancing Anda untuk berpikir).
Siapa yang Butuh: Business Owner yang sudah punya skill dasar tapi kehilangan arah, kurang disiplin, butuh akuntabilitas, atau butuh teman sparring strategi.
[2] Business Consultant (Dokter Spesialis / Ahli Gizi)
Analogi Bola: Ini adalah Dokter Tim atau Ahli Statistik yang disewa klub.
Posisi: Masuk ke ruang ganti atau ruang operasi untuk membereskan masalah spesifik.
Tugasnya: Bersifat teknis dan hands-on. Kalau pemain kakinya patah, Coach tidak bisa menyembuhkan, harus panggil Dokter (Konsultan). Dokter akan bilang: “Minggir kalian semua, ini kaki patah biar saya yang operasi.” Konsultan punya jawaban pasti dan solusi jadi.
Kalimat Khas: “Keuanganmu bocor di pos HPP. Ini saya buatkan template Excel-nya, SOP-nya saya rapikan, kamu tinggal isi.” (Dia memberikan solusi teknis).
Siapa yang Butuh: Business Owner yang punya masalah teknis spesifik (misal: Pajak berantakan, HR kacau, Iklan boncos) dan butuh ahli untuk membereskan sistemnya.
[3] Business Mentor (Legenda Klub / Senior Player)
Analogi Bola: Ini seperti Bambang Pamungkas yang curhat ke juniornya, atau Alex Ferguson yang ngopi bareng manajer baru.
Posisi: Sosok senior yang sudah “kenyang makan asam garam”. Dia sudah pensiun atau ada di level yang jauh lebih tinggi.
Tugasnya: Berbagi hikmah masa lalu (wisdom). Hubungannya lebih emosional. Dia tidak mengajari teknis detail, tidak juga memarahi tiap hari, tapi memberikan pandangan helikopter (big picture) agar si junior tidak mengulangi kesalahan konyol yang dulu pernah dia buat.
Kalimat Khas: “Dulu waktu saya hadapi krisis 98, saya juga panik kayak kamu. Tapi saya lakukan X dan Y, akhirnya selamat. Coba kamu pertimbangkan itu.”
Siapa yang Butuh: Business Owner yang butuh role model, butuh koneksi (jejaring), dan butuh arah hidup dari orang yang sudah sukses duluan.
[4] Business Trainer (Pelatih Fisik)
Analogi Bola: Pelatih fisik yang menyuruh lari keliling lapangan 10 kali, atau pelatih kiper yang menyuruh menangkap bola 100 kali.
Posisi: Pengajar skill.
Tugasnya: Transfer ilmu baru. Fokusnya repetisi dan penguasaan alat. Sifatnya one-way teaching (satu arah).
Kalimat Khas: “Ini cara nulis copywriting yang benar. Ayo coba bikin 10 headline sekarang!”
Siapa yang Butuh: Anda atau karyawan yang butuh menguasai skill spesifik baru (misal: Workshop Facebook Ads, Training Excel, Kelas Copywriting).
Ringkasnya
- Butuh benerin masalah teknis yang rumit? Panggil [2] Konsultan.
- Butuh dijaga disiplinnya dan ditata strateginya? Panggil [1] Coach.
- Butuh tempat curhat dan belajar kebijaksanaan hidup? Panggil [3] Mentor.
- Butuh diajari skill baru? Panggil [4] Trainer.
Di Indonesia, Definisinya Jadi Ambyar
Saya tidak menyatakan generalisasi, tapi pada umumnya, sebab ‘indonesia demikian masih longgar urusan regulasinya’ maka definisi di atas pada prakteknya tidak demikian.
Kalau di dunia profesional, sebagai trainer ya trainer saja. Tapi, di indonesia, sejauh yang saya perhatikan, ya dia coach, ya dia trainer, ya dia konsultan, ya dia sebagai mentor.
Sekali lagi, saya tidak sedang generalisasi, tapi umumnya demikian.
Sekaligus di sini akar masalahnya bermula.
Garis batas yang kabur ini, dimanfaatkan sebagian oknum untuk ‘bermain’.
Ladang basah untuk dimonetisasi dengan maksimal memanfaatkan longgarnya regulasi, polosnya coachee, dan banyak aspek lainnya.
Industri ini minim regulasi, walau ya ada BNSP ini itu, tapi tau sendiri kan ya, ‘itu sekedar kertas’.
Dari aspek user / pengguna bisnis coach juga ini ladang ‘mendzolimi’, user UMKM ‘meminta lebih’ dari ‘tugas profesi’ yang selayaknya.
Bisnis owner punya ekspektasi berlebih, bisnis coachnya juga tidak paham.
Jadi lingaran setan yang tak tau kapan usainya.
Hanya saja, dalam tulisan ini, saya hanya fokus pada Tipe Coach Bisnis & Konsultan Bisnis Yang Harus Diwaspadai.
Apa saja?
[1] Bisnis Coach Tipe Lintah Darat
“Udah start bayarnya mahal, dikit dikit duit, dikit minta charge ini itu”.
Bener, start awal sebab tidak saling paham posisi masing masing antara bisnis coach dan bisnis owner selaku usernya.
Tidak disepakati mana termasuk biaya cakupan intinya mana yang additional fee.
Kejadian dilapangan, bisnis coach tipe lintah darat ini uang lagi, uang terus, dan uang uang baik ada progress maupun tidak ada progress dari proses business coaching yang tengah berjalan.
Tiba tiba ada aja invoice masuk padahal nggak ada perbincangan di awal.
Bahkan sampai minta uang untuk urusan pribadi yang tidak relevan dengan proses business coaching yang berjalan.
Efeknya, coachee (pemakai jasa bisnis coach) dirugikan secara finansial, cashflow perusahaannya terganggu, bukan untuk bener bener mengurusi aspek bisnis malah karena ‘membiayai’ coach, bahkan ‘gaya hidup coach’ yang tidak ada impact signifikan ke program maupun bisnisnya.
[2] Tipe Bajingan
Sebenarnya, Bajingan itu bukan kata kotor.
Dalam kultur Jawa, bajingan adalah profesi kusir gerobak sapi (cikar).
Dulu, mereka adalah pahlawan logistik rakyat, orang-orang tangguh yang mengantar hasil bumi dari desa ke kota.
Mereka memegang kendali, tahu jalan, dan mengantar muatan sampai tujuan.
Tipe bajingan ini ada sub spesiesnya:
[a] Biayanya Hight Ticket, Program Bahkan Materi yang Disampaikan SAMPAH Saja!
Umumnya ‘ada harga, ada rupa’.
Ini ada harga doang nggak ada kualitas.
Overpromise, Underdeliver. Janji surga, realisasi neraka
Coach bisnis ini bisa dibrandingkan dengan sejarah masa lalunya, dikaitkan dengan brand yang besar, tokoh yang besar, atau ‘nilai jual lainnya’ sehingga ‘seakan layak dihargai mahal’.
Seakan ilmunya luar biasa. Padahal ketika sudah dibayar, materi yang diberikan sampah atau ‘tidak sekualitas’ yang dipromosikannya.
Bahkan, tidak ada beda ambil paket super mahal dibanding dengan konten youtube atau bahkan program regulernya yang dia jual sendiri.
Atau, materi yang disampaikan hanya ‘materi pungutan’ yang ‘terlihat keren’ padahal aslinya business coach ini tidak benar – benar memahami dan pernah secara ‘cukup’ mempraktekannya.
Termasuk dikatakan sampah juga, dia pakai ilmu super jadul yang sama sekali tidak relevan dengan aktual bisnis di jaman sekarang.
Emang beda orang – orang yang walk the talk sama yang overtalk saja kan?
Daan berbagai bentuk ‘materi sampah’ lainnya.
[b] Ahli Ghosting
Sebelum tanda tangan SPK, sebelum menerima duit, manis sekali, seakan 24 jam on call siap sedia mendampingi, menemani, melatih sepenuh hati.
Begitu uang masuk rekening, dihubungi susah, di kontak susah, diajak ketemu susah.
Padahal jelas dalam klausul kontrak ada momen untuk interaksi langsung sesuai kesepakatan mau via jalan komunikasi tertentu mau offline atau zoom dan sebagainya.
Misalnya, dalam 1 bulan ada 1 x kunjungan, atau sekian kali yang disepakati.
Sekali kalinya berkunjung, tidak ada hal esensial yang benar benar bisa diperoleh maupun bisa di aplikasikan.
[c] Wanprestasi Kontrak
Di kontrak janji mengeksekusi serta membereskan SOP dan KPI karyawan, tapi sampai kontrak habis, satu lembar kertas SOP pun tidak pernah jadi.
Alasannya selalu menyalahkan tim internal klien yang “tidak kooperatif”.
Bicara software ini itu, sudah disetujui, diproses, dibiayai, dengan biaya fantastis, software tidak relevan, tidak bisa dipakai, setengah jadi pun tidak.
[d] Calo Tiket Syurga
Wajar ketika user menanyakan kepada business coachnya mengenai beberapa hal berkenaan mungkin ada relasi atau supplier atau kenalan yang bisa membantu atau memberi solusi konkret atas masalah di bisnisnya.
Titik bajingannya, ketika coach bisnis tersebut sudah kasih referensi, ternyata dia main kong kali kong sama relasinya untuk ‘keuntungan pribadinya’.
Apa yang dia mainkan?
- Secara ‘manipulatif’ mengambil keuntungan finansial ‘secara tidak fair’, ambil fee lah, atau dia punya saham di sana
- Markup harga untuk dijual kepada coachee ‘secara tidak wajar’
- Ada ‘tukeran informasi penting’ dari data coachee ke relasinya ‘supaya dapat harga spesial’ atau mekanisme finansial lain
- Suruh ganti vendor, ternyata yang ditunjuk adalah perusahaan atas nama adiknya, orang lain lah, intinya ending rekening ke dirinya
- ‘Secara tidak etik’ kalau jaman sekarang mau ngejar fee affiliate / reseller / referral fee
Relasi yang dikasih bukan yang ‘benar benar ahli’ tapi hanya dasar ‘bisa nambah keuntungan finansial / lainnya’ secara pribadi ke bisnis coachnya.
Udah nggak objektif lagi saran sarannya
Intinya, dia menjadikan masalah klien sebagai “Proyek Bancakan” untuk dirinya sendiri atau kroni-kroninya.
[e] Si Ember Bocor
Dalam proses coaching, begitu terbangun trust, ada banyak ‘informasi dalaman’ yang terbuka.
Ternyata, si bisnis coach ini ember dan dibawa kemana mana.
Bahkan untuk mengajar kelas secara umum.
Padahal sudah disepakati rahasia dapur tidak boleh disampaikan ulang walau tanpa ada penyebutan identitas bisnisnya.
Saat sedang coaching klien B, dia dengan enteng membocorkan rahasia klien A.
“Eh, si Pak Budi yang punya pabrik X itu lho, dia tuh sebenernya mau bangkrut, utangnya segini…” atau “Saya tahu supplier murahnya si Brand Z, sini saya kasih tau kamu.”
Orang ini tidak memahami secara seutuhnya etika kerahasiaan.
[f] Stealing Thunder
Klien sukses karena kerja keras tim internal dan eksekusi owner yang gila-gilaan, tapi si Coach yang pasang badan menampilkan euforia keberhasilan di media sosial.
Dia cuma diundang sekali buat sharing session, tapi pas omzet klien tembus Milyaran, dia posting foto bareng owner dengan caption, “Alhamdulillah, setelah saya dampingi, omzet beliau meledak!”
Padahal kontribusinya nol koma sekian persen alias sama sekali tidak signifikan.
Bahkan apa yang dia sampaikan metodenya justru malah sama sekali tidak bisa dikerjakan / dieksekusi.
Dia mencuri kredit atas keringat orang lain untuk jualan jasanya sendiri.
[g] The Toxic Politician, Sengkuni!
Sengkuni bisa internal dalam bisnis yang dia coach, ke pesaing bisnisnya, ke regulator, dan stakeholder lainnya.
Bukan membuat harmonis, malah aktif mengacaukan yang sudah ada.
Main playing victim, adu domba, devide et empera, ciptakan saling curiga, ciptakan isu tidak jelas, fitnah, dan strategi lainnya.
Dia membuang orang-orang lama yang kritis dan “waras”, lalu menggantinya dengan “orang-orang titipan” dia sendiri yang cuma bisa yes-man.
Di depan Owner, dia menjelek-jelekkan manajer lama/karyawan setia (bilang tidak kompeten, tidak loyal, duri dalam daging). Di depan karyawan, dia bilang Owner pelit atau tidak menghargai mereka.
[h] The Cloner
Program coaching membuat dirinya tau supplier inti dari owner.
Sebenarnya, mau bisnis apapun sah sah saja.
Tapi secara etika ketika anda tahu supplier, relasi, atau patner kunci dari coachee kemudian anda bikin bisnis yang serupa apa ini pantas?
Berjalannya waktu justru menjadi kompetitor coachee.
[i] Evil Genius,Killer Acquisition
Modus operandi, misalnya, dia melihat bisnis owner sedang bermasalah.
Coach sendiri memiliki bisnis yang sama atau miriplah, tapi si owner ini tidak tau.
Motivasinya bukan profit dari bisnis si Coachee, tapi menghilangkan kompetitor masa depan demi mengamankan pangsa pasar / dia bersama koleganya.
Masuk sebagai mentor, lalu mencaplok bisnis untuk dikubur hidup-hidup.
[j] Double Agent
Ini tipe pengkhianat murni.
Dia tidak tertarik bikin bisnis, tapi dia bekerja sebagai “intel” bagi pihak ketiga (bisa kompetitor Anda, atau relasinya yang mau masuk pasar yang sama).
Misalnya,
- Dia minta data yang sangat spesifik dan sensitif yang sebenarnya tidak relevan dengan materi coaching. Misal: “Siapa nama lengkap dan nomor HP top 10 distributor kamu?” atau “Boleh lihat draft paten produk barumu yang belum rilis?”
- Setiap kali Anda mau launching strategi baru, kompetitor sebelah (yang ternyata relasi si Coach) tiba-tiba sudah counter-attack duluan dengan strategi yang mematikan langkah Anda. Anda telanjang di hadapan musuh karena “pakaian” Anda dilucuti oleh coach Anda sendiri.
Dia dapat bayaran dari Anda (fee coaching), dan dapat bayaran dari kompetitor (fee intel).
Atau secara teknologi jaman sekarang, ‘bisa share’ data supaya bisa langsung digunakan oleh pihak yang membayarnya.
[3] Kombinasi
Tipe ke tiga ini, dia main kombinasi dari banyak contoh permasalahan di atas.
Bahkan dia bisa melahirkan jenis spesies baru ‘cara nakal’ jadi business coach indonesia.
Termasuk didalamnya ulah oknum coach yang sampai menjurus ke urusan seksual, penipuan, dan pola pelanggaran pidana serta perdata lainnya.
Tidak menutup mata dengan pola pelanggaran yang ditinjau dari aspek agama.
Mengapa Saya Harus Membuka “Kotak Pandora” Ini?
Menuliskan kebobrokan sebuah industri, apalagi yang beririsan dekat dengan dunia saya, rasanya seperti menelan pil pahit.
Ada risiko dimusuhi, ada risiko dianggap “sok suci”.
Tapi, saya memilih untuk menuliskan ini bukan karena kebencian.
Justru sebaliknya, tulisan ini lahir dari rasa cinta yang mendalam pada ekosistem bisnis di Indonesia.
Saya lelah melihat pengusaha pemula mati sebelum berkembang, bukan karena kalah bersaing, tapi karena “dibunuh” oleh mentornya sendiri.
Saya super prihatin finansial keluar puluhan juta, ratusan juta, bahkan milyar namun hasilkan sampah serta wanprestasi yang sangat tidak layak terjadi
Maka, anggaplah tulisan panjang lebar saya sebelumnya sebagai sebuah Early warning buat kita bersama.
Jangan ada lagi, jangan nambah lagi oknum oknumnya.
Fenomena Coach Bisnis Ini, Apa Hikmahnya?
Kini, setelah kita tahu gelapnya hutan rimba ini, apa yang harus kita lakukan? Ini adalah pesan terbuka saya untuk semua pihak yang terlibat.
1. Untuk Para Coach: Pembuktian Adalah Kunci
Jika Anda tersinggung dengan tulisan saya tentang “Coach Bajingan”, tanyakan pada nurani Anda:
Apakah saya tersinggung karena saya melakukan hal yang sama?
Tapi jika Anda adalah Coach Sejati yang berintegritas, punya track record, dan tulus maka tulisan ini adalah kabar baik buat Anda.
Tulisan ini ya ibarat jadi saringan alamiah saja.
Biarkan para penipu itu tersingkir oleh edukasi pasar.
Ini saatnya Anda tampil beda.
Bukan dengan flexing mobil mewah atau pamer saldo ATM, tapi dengan Bukti Karya.
Tunjukkan portofolio nyata, tunjukkan alumni yang benar-benar sukses (bukan klaim sepihak), dan junjung tinggi etika profesi.
Jadilah oase di padang pasir yang tandus ini.
Indonesia butuh Anda.
2. Untuk Business Owner: Saham Anda Mahal, Jangan Diobral!
Wahai pengusaha, saya paham rasanya panik saat omzet turun.
Saya paham rasanya kesepian menanggung beban bisnis sendirian untuk kompleksitas masalah bisnis yang super ruwet.
Tapi, tolong, jangan biarkan kepanikan itu menutup logika Anda.
Berhenti memberikan kepercayaan prematur. Mudah terbuai dengan janji hasil yang instan.
Jangan terburu-buru menyerahkan “bayi” (bisnis) Anda kepada orang asing hanya karena dia pandai bicara.
Terlebih lagi urusan Saham (Equity).
Saham adalah nyawa perusahaan.
Jangan terburu buru memberikannya di depan kepada coach yang belum berkeringat bersama Anda.
Uji dulu kinerjanya, lihat dulu kontribusinya.
Dia bagus dibidangnya, belum tentu bagus juga dibidangmu.
Apalagi kalau cuma datang sebulan sekali buat marah-marah, apa dia layak dapat saham?
3. MOU adalah Tameng Kita
Mari kita sudahi budaya “sungkan” dan azas “percaya teman”.
Mulai sekarang, segala bentuk pendampingan bisnis wajib didasari oleh Perjanjian Kerjasama (MOU) Hitam di Atas Putih.
Buat pasal-pasal yang tegas agar tidak ada pihak yang saling mendzalimi:
- Apa KPI (Key Performance Indicator) keberhasilannya?
- Apa sanksi jika coach wanprestasi atau tidak delivery?
- Bagaimana batasan kerahasiaan data (NDA)?
- Bagaimana skema pembayarannya?
- Boleh nggak ketika berhasil dijadikan portofolio?
Kontrak yang jelas bukan tanda ketidakpercayaan, tapi tanda profesionalisme.
Ini melindungi Owner dari pemerasan, dan melindungi Coach dari tuntutan yang tidak masuk akal.
4. Pesan untuk Asosiasi & Regulator: Perketat Pintu Masuk!
Fenomena “Coach Bajingan” merajalela karena pintu masuknya ‘terlalu longgar’.
Di sinilah peran Asosiasi Profesi dan Lembaga Sertifikasi harus ‘lebih galak’.
Jangan lagi ‘mengobral gelar Coach’ seperti kacang goreng.
Sertifikasi jangan hanya sebatas “bayar lalu lulus”, atau penuhnya isian berkas.
Harus ada ujian kompetensi riil, cek rekam jejak kriminal, dan pemantauan kode etik yang ketat.
Jika ada coach yang terbukti menipu atau melanggar etik, cabut gelarnya, umumkan, blacklist namanya.
Jangan biarkan satu nila merusak sebelanga susu.
5. Untuk Masyarakat
Terakhir, untuk kita semua, netizen, komunitas bisnis, dan masyarakat umum.
Kita punya kekuatan sosial.
Mari turut mengawasi.
Jika Anda melihat praktik coaching yang menyimpang, skema ponzi berkedok mentoring, atau pelecehan berkedok konsultasi privat, bersuaralah.
Jangan diam.
Edukasi teman-teman kita agar tidak terjebak lubang yang sama.
Tentu tetap berlaku adil, tiap profesi ada oknumnya, tapi tiap profesi juga ada yang memang bener – bener perform memberikan kontribusi pada bidangnya.
Penutup
Dunia bisnis itu sudah cukup keras dan brutal.
Kita tidak butuh tambahan musuh dalam selimut.
Harapan saya sederhana, Semoga dengan terbukanya tabir ini walau ya aslinya sudah ‘tahu sama tahu’, ekosistem bisnis Indonesia menjadi lebih sehat.
Di mana Coach kembali menjadi profesi terhormat yang memuliakan kliennya.
Di mana Business Owner bisa tumbuh cerdas tanpa rasa was-was.
Dan di mana kesuksesan diraih dengan cara-cara yang haq, bukan dengan cara memangsa sesama.
Mari berbenah.
Bersih-bersih dimulai sekarang.
Kurang lebihnya, tentu saya mohon maaf. Peace!
Anjrah Ari Susanto, S.Psi.






No comment yet, add your voice below!